Rabu, 09 Januari 2013

Malaikat Titipan Tuhan ( Part 1 )


Hari yang cerah di awal bulan Juli, ketika aku dan sahabatku mulai berjalan mengitari koridor ruang guru, menyusuri tiap inchi seluk beluk ruangan sambil melihat-lihat berbagai kata mutiara yang terpajang rapih di dinding. Berkali-kali aku tersenyum melihat kata-kata indah itu, sampai tak tersadar bagiku bahwa aku telah cukup lama berada diruangan, dengan penuh senyum kulangkahkan kaki berusaha beranjak dari ruangan dan meninggalkan kata-kata mutiara yang telah berulang kali kubaca.
* * *
Sesampainya ku di  teras ruangan langkah kakiku terhenti disebuah kursi panjang, ku jatuhkan diri ke kursi yang terbuat dari alumunium itu sambil menatapi sebuah ruangan tempat generator sekolah berada, mataku menerawang dengan tajam kearah ruangan tersebut. “ Entah apa yang bakal terjadi jika generator itu meledak “ batinku dalam hati. Lamunanku menerawang kesetiap arah dan jatuh tepat di ruangan generator itu dan seperti dalam sebuah film berjudul “final destination” aku seolah mendapat penglihatan bahwa ruangan itu akan meledak dan menyebabkan kebakaran hebat di sekolah ini. Cepat-cepat aku tersadar dalam lamunanku dan mencoba menghilangkannya dengan cara berlalu dari tempat itu, namun ketika melewati tempat itu rasa panas seolah menjalar di sekujur tubuhku dan membuatku sedikit merasa kegerahan, langkah kaki mulai kupercepat secepat degup jantungku yang tidak karuan ketika mengingat kejadian dalam lamunanku itu, “ sungguh mengerikan jika semua itu sampai terjadi “ batinku dalam hati sambil meneruskan langkah kakiku menuju tangga dimana kelasku berada.
* * *
Dari kejauhan masih ku tatap ruangan itu. Kuselidiki dengan kedua bola mataku sesuatu yang aneh dari ruangan itu. “ apa yang terjadi?, kenapa aku merasa ada keganjilan di ruangan itu? dan mengapa saat aku melewati ruangan itu rasanya panas sekali? “ batinku dengan seribu pertanyaan, namun keganjilan yang aku tanyakan dalam hati mulai terjawab ketika aku melihat sepercik api keluar dari kipas sebuah Air Conditioner ( AC ) yang berada tepat diluar ruang administrasi sekolah. Aku bertanya-tanya dalam hati “ percikan itu sepertinya tidak asing kulihat? Aku merasa pernah melihatnya “ batinku dengan perasaan mulai gelisah,
“ Dina gua bisa mintol ga?, loe tolong bilangi ma Pak Sapri supaya mutusin aliran listrik dari sumbernya yah! “ ujarku kepada Dina sambil arah pandanganku tetap tertuju pada ruangan generator.
“ Loe emangnya mau kemana? Nd lagi ngapai Pak Sapri musti matiin aliran listrik sekolah? “ tanya Dina menatapku penuh tanya, matanya yang polos membuatku agak sedikit terenyuh.
“ Loe liat disana, ruangan itu sebentar lagi bakal meledak dan kalo listrik gak dimatiin sekolah ini juga bakal meledak “ jawabku menunjuk kearah ruangan generator sambil mulai mengambil langkah menuju ke lantai dasar untuk memberitahu para guru.
“ Trus loe mau kemana? “
“ Gua harus beritahu semua guru “ teriakku sambi berlari meninggalkan Dina
* * *
            Sesampainya di lantai dasar aku berlari menuju ruangan guru namun ketika melewati ruangan generator itu aku mulai mendapat penglihatan kembali yaitu akan ada salah satu guru kesayanganku yang akan terkena ledakan. Cepat-cepat aku berlalu dari tempat itu menuju ruangan guru.
            “ Maaf Bu, Pak, saya Cuma mo ngabari kalo Bapak ma Ibu semua mesti keluar dari ruangan ini karena.... hah... hah.. “ teriakku dengan suara tersengal-sengal
            “ Karena apa Lin? “ tanya salah seorang guru yang akrab dipanggil Ibu sondang, ia berjalan kearahku dan mencoba menenangkanku,
            “ Maaf Bu, bukannya saya mengada-ada tapi saya rasa ibu dan Bapak mesti keluar dari ruangan ini secepatnya karena ruangan ini bakalan meledak sebentar lagi “ kataku sambil mencoba mengatur nafas,
            “ Kamu tau dari mana? “ tanya seorang guru yang duduk dikursi paling belakang,
            “ Saya tadi mimpi kalo ruangan generator itu bakal meledak dan efek ledakannya adalah ruangan ini “ seruku dengan tangan menunjuk ruangan generator. Guru-guru yang berada diruangan seakan tidak percaya pada perkataanku, mereka mengira aku mengada-ada dan hanya bermimpi namun, “ DHUUAARRRR....... “ suara ledakan berbunyi persis seperti dalam mimpiku. Sontak karena kaget semua guru berhamburan berlari dari ruangan menuju keluar melihat apa yang terjadi, mereka berbondong-bondong meninggalkan ruangan karena takut jika omonganku bakal benar-benar terjadi namun, salah seorang guru kesayanganku yang akrab ku panggil Ibu Annisa masih berada dalam ruangan sambil menyusun barang-barangnya, dia seolah tak percaya omonganku akan menjadi kenyataan.
            “ Ibuk, ayok keluar “ teriakku dari depan pintu ruangan guru namun, ia seakan enggan untuk keluar entah karena dia tak percaya atau karena apa. Dia terus berada dalam ruangan sambil menatapku penuh dengan curiga sementara aku terus-menerus merasa gelisah yang amat mendalam ketika sebuah penglihatan menghampiriku kembali dan dalam penglihatan itu aku melihat tulang belakang guru kesayanganku itu hancur terbakar karena api dan “ DHUUUAAARRRR........... “ ledakan kedua pun terjadi sehingga membuyarkan lamunanku yang amat mengerikan. Mendengar ledakan kedua dari generator sontak Ibu Annisa berlari kecil dari tempatnya menuju arah pintu tempat dimana aku berdiri, dia menghampiriku namun “ DHUUAARRRRRRR........... “ semua terlambat ketika ledakan ketiga terjadi tepat pada Air Conditioner (AC) yang berada diatas kepalaku. Ledakan itu cukup besar sehingga cukup membuatku terjatuh dan menimpa Ibu Annisa, aku jatuh terjerembab diatasnya dan disaat yang sama tulang punggungku terasa sangat panas dan perih seperti terbakar, suara teriakan yang memanggil namaku pun mulai terdengar walau perlahan aku mulai tak mendengar suara mereka lagi.
* * *
            Entah sudah berapa lama aku pingsan dan tak tersadar karena kejadian itu, tubuhku terasa sangat gontai, punggungku terasa panas dan perih membuatku amat sangat menderita. Dalam keadaan terlungkup perlahan ku coba membuka kelopak mata berusaha melihat sekelilingku namun, seorang yang tak terasa asing bagiku menyapa dengan senyuman
            “ Kamu udah enakkan? “ tanya guru itu
“ Udah bu, tapi punggung saya rasanya panas dan perih sekali. Kenapa yah? “ tanyaku penasaran. Raut wajah guru itu berubah menjadi sedih dan merasa khawatir sekali, dia membelai rambutku perlahan
            “ Dek, kamu istirahat dulu yah, bentar lagi ambulans datang “ sahut guru itu padaku namun, aku masih sedikit gelisah karena keadaan punggungku yang amat terasa perih dan panas. Seolah tak terbendung akhirnya air mataku meleleh membasahi kedua belah pipi, rasa sakit yang amat mendalam membuatku tak mampu menahannya. Ku genggam erat pinggiran seprai tempat aku tertelungkup pasrah sambil berusaha menahan rasa pedih dan panas yang semakin menyiksa,
            “ Sakit yah? “ tanya guru itu sambil menggenggam tanganku yang tadinya menggenggam seprai, dia menghapus air mata yang jatuh karena menahan rasa sakit yang begitu menyiksa dan disela-sela rasa sakit yang kuderita samar-samar aku mendengar suara ledakan yang sama, suara itu membuatku sontak bangkit dan mencari asal suara itu
            “ Kamu kenapa? Kamu disini udah aman, kamu enggak usah keluar dari UKS ini karena kamu sendiri aja lagi gawat “ sahut guruku mencoba mencegahku untuk pergi meninggalkan ruangan itu.
            “ Suara ledakan itu belum usai yah buk? Terus temen-temen dan guru-guru yang lain pada kemana? “ tanyaku mulai gelisah
            “ Mereka semua diluar mencoba meredakan ledakan itu “
            “ Tapi dengan apa? Mereka aja enggak ada yang tau kapan ledakan itu terjadi lagi jadi apa cara mereka menghentikan ledakan itu? “ tanyaku sambil melompat dari tempat tidur dan beranjak keluar dari ruangan,
            “ Kamu enggak boleh pergi “ sahut guru itu sambil menarik tangan ku
            “ Tapi aku harus nyelamatin mereka bu “ ujarku sembari melepaskan genggaman tangan dan berlari keluar.
* * *
            Diluar ruangan aku melihat pemandangan yang sangat menyeramkan. Gereja yang selama ini kulihat begitu megah kini menjadi hancur karena ledakan, ruang guru yang begitu nyaman sekarang menjadi hancur seperti puing-puing, air mata meleleh dan membasahi pipiku. Penuh gontai aku berjalan menghampiri kerumunan guru dan teman-temanku, mereka terkejut melihatku keluar dari ruangan
            “ Kenapa kamu keluar? “ tanya para guru menatapku dengan mata menyeringai,
            “ Saya hanya ingin membantu “ jawabku sambil menutup mata dan berusaha mencari penglihatan dan dalam keheningan aku mulai mendapat penglihatan kembali, kulihat satu persatu AC meledak dan hanya satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah yaitu mematikan semua aliran lisrik dari sumbernya.
            “ Buk, saya tau cara mengatasi ledakan ini “
            “ Bagaimana? “
            “ Dengan cara mematikan semua aliran listrik dari sumbernya “ kataku dengan lemah. Mendengar pengakuan bahwa ledakan itu bisa dihentikan semua guru bergegas memanggil Pak Sapri yang tau dimana sumber arus listrik sekolah berada, tapi belum sempat Pak Sapri masuk keruangan sumber listrik ledakan kembali terjadi dan menghancurkan ruangan SD. Mendengar ledakan itu kulihat Pak Sapri segera bergegas keruangan listrik namun tak berapa lama aku mendapat penglihatan bahwa ruangan tempat generator yang telah meledak akan meledak kembali, cepat-cepat aku terbangun dari lamunanku dan kulihat Ibu Annisa yang telah ku selamatkan dari ledakan tadi berada tepat didepan ruangan generator. Dengan gerakan spontan dan tanpa memperdulikan sakit yang kurasa aku berlari menuju Ibu Annisa, kutubruk badannya dengan kuat menjauhi ruangan dan “ DHUUUAAARRRRRR............. “ bunyi ledakan yang begitu keras membuatku terpental jauh. Dalam benakku aku tak tau apakah aku masih hidup ataupun aku akan segera ke surga tapi yang pasti samar-samar aku masih mendengar suara guru dan teman-temanku yang berteriak memanggil namaku.
* * *
            Untuk yang kesekian kali aku tersadar dari tidurku dan dalam keadaan terlungkup aku merasakan darah segar mengalir dari pelipis kepalaku, aku merabanya dan berusaha membersihkannya dengan telapak tanganku karena aku tak ingin mereka menjadi khawatir, tapi semua terlambat Ibu Annisa melihat darah itu mengalir dari pelipisku dan dengan sigap ia mengambil sapu tangan dan menghapus darah itu.
            “ Perasaan kamu gimana sekarang? “ tanyanya sambil perlahan menghapus darah dari pelipisku. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman yang singkat dan penuh arti, dia melihatku dengan air mata berlinang dan wajah penuh rasa bersalah. Perlahan aku melihat air mata membasahi pipinya
            “ Ibu kok nangis? Jangan nangis Ibu, udah tua kok nangis. Saya enggak apa-apa kok, Cuma sakit sedikit di punggung saya “ kataku seraya mengejek, dia tersenyum dan membelai rambutku
            “ iyah kamu benar. Tapi sekarang Kamu tahan yah, sebentar lagi ortu kamu dan ambulance segera datang “ serunya dengan tangan tetap pada kepalaku, aku hanya bisa mengangguk perlahan dan kemudian menutup mataku kembali. Dalam tidurku aku masih bisa mendengar hiruk-pikuk suara yang ada di sekelilingku, namun perlahan seolah lenyap hilang ditelan bumi suara itu tak terdengar lagi.
* * *
            Setelah beberapa waktu aku tak mendengar suara apapun akhirnya aku mulai mendengar satu suara yang menandakan bahwa pasti aku sudah sadar walaupun yang kudengar seperti suara seorang suster namun aku bersyukur masih bisa mendengarnya, kubuka mataku dan kulihat seorang suster berdiri disampingku, ingin sekali aku bicara pada suster itu tapi seolah tertahan sesuatu hal bibir ini tidak dapat berkutik. Aku terpaku diatas tempat tidur seperti layaknya mayat hidup yang menunggu mati, tangan dan sekujur tubuhku tak dapat kugerakkan, aku berharap ini adalah mimpi dan esok hari aku akan terbangun dengan keadaan yang berbeda.
            Saat mentari menyongsong diufuk timur aku membuka mataku dan merasakan bahwa sekujur tubuhku masih membatu, aku merasa tak berarti dan memutuskan untuk menutup kembali mataku. Entah berapa lama aku telah tidur dan kembali kurasakan bahwa aku tak bisa berbuat apapun sampai salah seorang masuk kedalam kamarku, seorang yang tak asing bagiku yaitu Ibu Annisa, dia duduk disampingku dan melihat lalu terenyum
            “ Gimana keadaannya hari ini? “ tanyanya dengan perlahan sambil menyibakkan seutas rambut yang menyangkut di pipiku, ingin sekali aku menjawab salam darinya tapi sekali lagi aku tak bisa melakukan hal itu karena tubuh ini seakan membatu.
            “ Kamu lumpuh karena kejadian di sekolah waktu itu “ katanya berusaha menerangkan apa yang terjadi padaku. Seusainya ia menerangkan hal itu dia mengambil buku yang mungkin sengaja disiapkannya dalam tasnya.
* * *
             Sebulan telah berlalu dan aku tetap dalam kondisi yang sama. Silih berganti teman, keluarga, guru dan semuanya datang menjenguk tapi entah mengapa Ibu Annisa terus berada disampingku selama aku berada dirumah sakit, dia tetap duduk di sebelahku, menjadi penjaga setia yang selalu membaca buku dan sesekali membuat hariku menjadi agak sedikit bernuansa dengan cara mengajakku bicara walau dia juga tau aku tak akan dapat menjawabnya.
            Awal September telah dimulai dan aku masih tak dapat melakukan apapun kecuali diam pada tempatku, menahan sakit yang amat sangat pada punggungku. Beberapa kali aku merasakan darah segar mengalir dari belakang punggungku, membasahi baju dan seprei tempat tidurku.
            “ Kamu udah lebih dari sebulan nggak sadar loh Linda “ seru Ibu Annisa sambil memplototi aku, aku ingin sekali tertawa ketika melihat matanya yang begitu serius dan pipinya yang tembem sedang berhadapan langsung dihadapanku tapi aku tak bisa.
            Seminggu kemudian gerombolan temanku datang menjenguk dan tak lupa juga dengan Ibu Annisa yang entah mengapa setia banget nemeni aku, mereka datang membuat keisuhan yang emang aku ingin rasakan, mereka tertawa dengan cerita konyol yang dari mana saja asalnya.
            “ Li, Loe gak tau ni si Trisna tadi baru ngelakui hal apa di sekolah “ seru salah seorang teman yang emang udah aku anggep kea adek sendiri
            “ Trisna hari ni buat malu, masa kebelet pipis masuk ke toilet guru dah tu bukan sampe disitu ajah, dia malah gak ketok pintu maen masuk ajah.... ehh... didalam ada Pak Andre, yah loe tau lah betapa malunya dirinya.... ahhahhahhahaha........... “ Ceritanya dengan suara yang keras dan menggema di seluruh ruangan. Beberapa menit waktu berjalan dan Trisna yang duduk didepan lemariku melihat tumpukan kartu UNO yang tersusun rapi, tanpa dikomando dia langsung membagikan kartu itu ke semua termasuk Ibu Annisa
            “ Enggak ahh... saya gak ikutan “ seru Ibu Annisa menolak
            “ Ayo dong Ibu... masa Ibu menyendiri kea gitu “ bujuk Trisna
            “ Iya Ibu, UNO nih permainan kesukaan kak Li lohh, jadi Ibu ikutan main aja “ timpal Brenda
            “ Saya enggak ngerti “ jawab Ibu Annisa sembari menutup bukunya
            “ Nanti kita ajari Ibu “
            “ Iya Ibu, gampang aja kok “ saut Brenda menyetujui
            “ Ok deh, saya ikut. “ seru Ibu Annisa dengan pandangan ke arah tempatku berada. Berkali-kali putaran permainan dimulai tapi Ibu Annisa tetap saja kalah dalam permainan itu.
            “ Haduh Ibu... kok kalah melulu sih? “ tanya Trisna sambil menepuk keningnya
            “ Dari Tadi kan saya udah bilang kalo saya enggak ngerti dan nggak bisa main “ jawab Ibu Annisa mencari alasan
            “ kalo Ibu kalah melulu kak Li pasti emosi tuh “ sahut Brenda sambil melihat kearahku
            “ Emang kenapa? “
            “ Yah secara kan kak Li itu Miss UNO dikalangan kita, dia paling susah dikalahin. Jadi kalo Ibu terus kalah kea gini yah kak Li pasti sedih banget karena statusnya sebagai Miss UNO bakal gugur karena Ibu “ jawab Trisna sekenanya
            “ Karena saya? Emang salah saya apa? “
            “ Kalo Ibu kalah berarti membuat jatuh harga diri lohh Ibu kami cyayang.... “ jawab Dina
            “ Harga diri siapa? Emang seberapa suka dia sama permainan ini? “
            “ Harga diri Miss UNO dong Ibu, hmm.... Ibu gak tau ka Li malah Suka banget Ibu, dia selalu menang kalo maen UNO ini “ jawab Dina agak sedikit lebay. Kulihat sorot mata Dina yang agak sedikit mengedip padaku,
            “ Yaudah kali ini saya akan coba main lagi. Tapi kalo kalah lagi saya nggak tau yah “
            “ iya deh Ibu “ jawab mereka serempak. Aku tersenyum melihat mereka berada disampingku dan disaat itu terasa sekali bagiku kehangatan dan kasih yang dulu pernah kurasakan ketika berada bersama mereka.
            Dua putaran permainan telah usai, Ibu Annisa yang sedari tadi kalah dan membuat harkatku sebagai Miss UNO hancur kini menjadi pemenangnya,
            “ Eh kak Li, ni Ibu Annisa dah menang loh... kakak sekarang nggak usah khawatir lagi gelar Miss UNO direbut ma kak Jeyek ini “ sahut Trisna menunjuk friska kakak kelas kami yang selalu menantangku bermain UNO,
“ Kak... kakak gak senang yah Ibu Annisa menang? Kalo kakak senang bangun dong jangan buat kami nunggu gini lama trus bilang ama kita kalo kakak senang udah ngalahin kak Friska, jangan hanya diam kak “ sahut Vany dengan mata berkaca-kaca sembari menggoncang tubuhku, dari sorot matanya tampak bahwa dia sangat sedih. Ingin sekali ku bangun menghampirinya dan memeluknya namun tubuh ini serasa menahanku,
“ Kak, kakak kan janji sama Trisna mau ngajari pelajaran Bahasa Inggris, kalau keadaan kakak gini gimana mau ngajari aku. Kakak sadar dong, kakak apa nggak kasihan liat mama kakak, liat keluarga kakak dan liat Ibu Annisa yang nunggui kakak selama beberapa bulan ini? “ bentak Trisna dihadapanku sambil menunjuk Ibu Annisa dengan air mata memenuhi wajahnya, dia memukul tanganku, menggoncang tubuhku. Melihat hal itu Ibu Annisa berusaha menahan dengan cara memeluk Trisna, dalam pelukan Ibu Annisa masih kudengar isak tangis Trisna yang begitu kecewa
“ Kak, kakak bilang kakak sayang ama kita. Kalo kakak sayang ama kita kakak itu harus bangun jangan diam aja kea gini, kakak mau ngajak kita makan kan ka? Ayo bangun.... “ seru Trisna lagi, di lepaskannya pelukan Ibu Annisa dan kembali menggoncang tubuhku, air matanya berlinangan, dipukulnya dinding kamar dengan tangannya, dihentakkannya kepalanya kedinding, semua dilakukannya untuk melepaskan kekecewaannya padaku.
Perlahan dia menghampiriku, menggenggam tanganku dan berbisik ditelingaku
“ Kakak............. kenapa kakak kea gini? Kakak selalu bilang kalo kakak gak akan ninggalin kami kea kak papua waktu itu. Kak aku udah cukup sakit waktu kak papua pergi dan aku gak mau kakak pergi “ sahutnya dengan air mata yang berlinang, ia terus memegangi tanganku dan perlahan kurasakan air matanya jatuh tepat di tanganku. Aku benar-benar tak kuasa ketika melihatnya menangis, ingin sekali kubangkit dan memeluknya, menghapus air matanya dan berkata “ Aku nggak akan meninggalkan kalian “ namun aku tak sanggup, aku hanya bisa terdiam dan menangis dalam hati
“ Kakak gak mikir yah gimana sayangnya kami ke kakak? Kalo kakak sayang ama kami kakak harus bangun kak. Kalo kakak gak bangun aku bakal benci kakak seumur hidup aku. “ ancam Trisna dengan wajah penuh air mata. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bengkit, aku ingin memeluknya dan menggenggam tangannya.
Sekuat tenaga aku mulai menggerakkan tanganku, ingin sekali ku menggengam tangannya dan dengan tekat yang kuat perlahan kugerakkan jariku sambil berdoa “ Tuhan beri aku kesempatan berada di dunia ini sekali lagi, Tuhan masih ada tugas yang harus aku selesaikan yaitu aku masih belum bisa membahagiakan keluargaku jadi aku mohon kasih aku waktu 3 bulan untuk menyelesaikan tugasku. Biarkan aku berguna bagi mereka walau hanya dalam waktu 3 bulan “ doaku dalam hati, kubuka mataku dan ku dapati hal luar biasa pun terjadi akhirnya aku bisa menggerakkan jariku. Tak puas dengan itu aku mulai bertekat untuk bicara, perlahan kugerakkan bibirku yang kaku seperti batu, aku berusaha sekuat tenaga sambil tetap berkata kepada Tuhan bahwa aku masih ingin hidup dan ternyata Tuhan mengabulkannya
“ Tttt......tr....trris...na... “ kataku tebata-bata sambil tersenyum
“ Kakak..... kakak udah bisa ngomong? “
“ I....iya adek kkk....kkuu... “ sahutku masih terbata-bata, ku elus wajah Trisna dengan lembut dan perlahan senyumku pun mengembang setelah melihat semua adik-adikku berada disampingku. Melihatku yang telah dapat bicara walaupun terbata-bata akhirnya mereka bergegas memelukku dengan hangat dan penuh kasih, raut-raut keceriaan terpancar dari wajah mereka. Seperti seorang anak yang telah lama hilang dan kini kembali aku merasa sangat senang walau ku tahu kepulangan ku kedunia hanya berbatas waktu 3bulan.
* * *
            3hari telah berlalu semenjak kesadaranku pulih namun entah mengapa semua terasa berbeda, dulu sebelum aku sadar ruangan ini dipenuhi dengan sanak-saudara ataupun teman-teman yang datang menjenguk tapi 3hari setelah aku sadar tidak ada seorangpun yang datang menjenguk termasuk Ibu Annisa.
            “ Sus.. kok nga ada lagi yah temen-temen nd kluarga Lina yg datang njenguk lina lagi? “ tanyaku kepada seorang suster yang datang untuk mengecek tensiku sambil menyeruput minuman
            “ Mereka sibuk kali... “
            “ Hmm... tapi.... “
            “ Yaudah lah engga usah difikiri entar kalo mereka engga sibuk kan mereka juga datang. Makanya kamu juga mesti cepet sembuh, udah yah suster mau balik ke ruangan suster dulu “ katanya sambil menepuk bahuku perlahan dan tersenyum lalu pergi membawa peralatan keperawatannya berlalu dari ruanganku. Aku terdiam dan kembali menutup mataku berharap saat aku membuka mata ada seseorang yang menemani sepiku.
            Pagi telah berlalu dan mentari siang pun perlahan mulai naik ke tahtanya, memancarkan cahya terangnya kedunia. Kulihat seorang gadis kecil tengah duduk disampingku dengan senyum sumringah, wajah ovalnya yang mungil, rambut yang hitam panjang tergerai dan mata mungilnya membuatku tak tega jika tidak membalas senyumnya. Seperti malaikat kecil yang menghampiriku dia menggenggam tanganku dengan perlahan, aku bingung bukan main ketika melihatnya sudah duduk manis disampingku padahal sesungguhnya aku sama sekali belum mengenal dia.
            “ Kamu siapa? “ tanyaku perlahan kepada anak kecil itu
            “ Aku Angel, kakak namanya siapa? “ tanyanya dengan suara khas anak kecil
            “ Nama kakak Linda, kamu kok bisa ada disini? “
            “ Endak tau...! “ serunya polos sambil melihat kearah langit-langit kamar
            “ Kok engga tau? “ tanyaku penasaran
            “ Iya endak tau.. abis tadi sewaktu enjel jalan-jalan, enjel ngeliat tatak lagi bobok ngan alat-alat itu jadi enjel samperi dehh... “ sahutnya dengan polos. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah gadis kecil yang lucu itu, terkadang dia melihatku dan mulai tersenyum. Aku tak tau apa yang telah difikirkannya ketika melihat wajahku sehingga dia dapat tersenyum begitu senangnya.
            “ Ada yang aneh ama kakak yah? Kok kamu senyum-senyum gitu sih.. “ tanyaku sambl memegang pipiku
            “ Enggak kok.. “ katanya seraya berdiri
            “ Jadi kamu kok ketawa gitu? Oya kamu mau kmana? “
            “ Enggak apa-apa loh kak... dah kakak... nanti kita ketemu lagi yah, Enjel mau ke kamar dulu “ katanya seraya berlari dan berlalu dari kamarku
            “ Dasar anak aneh “ bisikku perlahan sambil menggelengkan kepala dan menjulurkan tanganku untuk mengambil sebuah buku komik yang berada tepat disamping tempat tidur.
Matahari terik telah berdiri dengan megahnya ketika salah seorang perawat memasuki kamar ku dengan membawa baki berisi nasi dan lauk pauk, kuarahkan pandangan ke sebuah jam dinding yang bertengger manis di atas kamar mandi
“ ternyata udah jam 1, tapi kok dari aku siuman ngga ada seorangpun yang jenguk aku yah? “ kataku berceloteh sendiri
“ Mungkin sebentar lagi mereka datang dek yang penting sekarang tuh kesehatan kamu “ sahut suster yang tadinya mengantar lunch padaku. Dia tersenyum ramah dan berlalu begitu saja dari hadapanku. Sesaat setelah suster itu pergi dari ruangan akupun mulai melanjutkan rutinitas membaca komik ku, sampai tak tersadar bagiku kalau aku sudah melewatkan 1 jam dengan perut kosong. Cacing-cacing dalam perutku mungkin sudah tak sabar untuk diberi makan sehingga mengeluarkan bunyi-bunyi perut yang lucu, ku letakkan komik disisi tempat tidur dan mulai meraih gagang penggeret yang sengaja diletakkan di tempat tidur untuk tempat makanan, kucoba mengayunkan tangan dan berusaha meraih namun aku tak dapat meraihnya karena tulang punggung ku yang masih rapuh ini masih tak dapat digerakkan sesuka hatiku
“ Apakah ini alasan kenapa tak ada seorangpun yang menjengukku? Apakah karena aku tak dapat berbuat apapun maka mereka takut jika aku merepotkan mereka? “ seruku dengan bibir tergigit, sampai tak tersadar bahwa air mata mulai jatuh dan mendarat di pipi. Aku menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan semua isi hatiku walau ku tau tak ada yang mendengarkan ku, tak ada yang memperdulikanku dan tak ada yang benar-benar mengasihiku namun entah mengapa ketika ku membuka mata gadis kecil yang tadi pagi menemaniku kini telah duduk manis disampingku dengan senyum yang terpancar
“ Kakak cengeng “ serunya sambil berdiri dan mencoba tuk menghusap air mataku
“ Kok kamu bilang kakak cengeng sih? “
“ Terus Enjel mesti bilang kata apa buat orang gede yang nangis hanya karena engga ada yang jenguk dia? “ jawabnya sambil melompat turun dari kursi yang dia naiki. Sesaat aku terdiam mendengar kata-katanya “ Dari mana dia tau kalau aku menangis karena gak ada yang nemeni aku “ batinku dalam hati.
“ Maksudnya? “ kataku dengan alis mengernyit
“ Oalah kakakku... kenapa sih kakak nangis hanya karena gak ada yang nemeni? Kakak takut yah? Udah gede juga masa takut di tinggal sendiri “ serunya sambil melihat-lihat sekeliling kamar
“ Kakak nangis bukan karena takut adek tapi karena kakak kesepian gak ada yang nemeni, kakak gak ada temennya “ jawabku mencoba memberi alasan
“ Ohh... kakak nangis karena gak ada temen? Kalau gitu sih gampang kak. Mulai sekarang Enjel bakal jadi temen kakak. Kakak mau kan kalo Enjel jadi temennya kakak? “  serunya dengan jari kelingking menjulur kearah wajahku
“ Maksud adek apaan si? Kakak gak ngerti deh “
“ Kakak bodoh ahh.... yah maksud Enjel mulai sekarang kita temenan. Kakak mau kan? “ tanyanya sambil mengambil jari kelingkingku dan mengkaitkannya ke jarinya. Dia tersenyum begitu manis.
“ Terus sekarang kita udah temenan? “
“ Iyah donk, makanya tuh berhubung Enjel udah jadi temennya kakak berarti kakak gak ada alasan lagi buat nangis. Okay....! “ serunya sambil memelukku tiba-tiba, aku tak tahu entah dari mana dan apa alasan anak ini sehingga dapat selalu ada ketika aku merasa kesepian namun yang ku tahu saat ini aku percaya bahwa dia adalah teman yang sejati karena pelukan yang diberinya membuatku selalu merasa hangat dan nyaman. Pelukan Sahabat.
Sejam telah berlalu tanpa terasa, dengan celotehnya yang lucu dan selalu membuatku tertawa membuat ku tak sadar bahwa aku belum menyentuh makan siangku.
“ Kakak, lapar gak? “
“ Emang kenapa dek? “
“ Habis Enjel liat ada makanan di atas itu... itu makanan kakak yah? Hayoo... kakak belum makan cacing diperut kakak marah loh ntar! “ sahutnya sambil menunjuk kearah makan siangku
“ Kakak tadi emang mau makan sayang tapi waktu kakak mau mencoba ngambil makan siang kakak itu tulang punggung kakak sakit, jadi dari pada gimana-gimana bagu gak usah diambil “
“ Ohh... kalau gitu sekarang kakak makan deh. Nih makan siangnya, walaupun telat tapi asal ada “ serunya sambil mengulurkan makan siangku
“ Makasih sayang “ seruku dengan senyum yang merekah.
“ Oiya kak, kakak jangan makan dulu yah, biar kita makan bareng ajah... “ katanya sambil berlalu dari ruangan. Dalam hati aku masih bertanya-tanya tentang asal anak ini, namun pertanyaan itu segera buyar ketika kudapati dia telah datang dan menghampiriku dengan baki berisi makanan yang sama denganku
“ Lohh, Enjel juga belum makan? Hayoo... kenapaa?? Mikiri cowok yahh?? “ rayuku sambil melirikkan mata nakal kearahnya
“ Ihh.. apaan sih kakak, Enjel tuh belum makan kan karna nemeni kakak disini... weeqq.... “ ejeknya sambil menjulurkan lidahnya yang mungil, aku tertawa lucu melihatnya yang malu karna godaanku
“ Yauda... daripada kita berantem bagus kita makan ajah, sini naik ke tempat tidur kakak biar kita bisa berdoa bareng “
“ Okeh dehh.. “ sahutnya sambil menaiki kursi dan duduk diatas tempat tidurku.
“ Nahh, karna Enjel yang paling kecil jadi Enjel yang mimpin doa makannya “ kataku sambil melirik kearahnya
“ Ahh mana aci gitu kak... yang iyahnya kakak dulu yang berdoa sebelum makan ntar Enjel berdoa sesudah makannya “ ujarnya sambil memanyunkan bibir, melihat hal itu akupun dengan sengaja menarik bibirnya sampai dia tersadar dan mencubit lenganku. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya
“ Ya udah kalo gitu lipat tangannya..... Kita bersatu dalam doa. Tuhan yesus terima kasih buat kasih karunia mu yang tlah kau berikan kepada kami hingga saat ini, makanan telah tersedia dihadapan kami berkatilah makanan ini agar menjadi kekuatan dan kehidupan baru bagi kami. Ampunilah kami akan kesalahan kami dan berikanlah kami kekuatan untuk menjalani setiap detik kami berada dirumah sakit ini. Terima kasih Tuhan amin. “ ujarku seraya membuka mata dan mengakhiri,
“ Amin.... “ Sahutnya dengan suara yang nyaring, perlahan di bukanya plastik yang membungkus baki makanannya. Semangkuk sup, Susu, dan Ikan itulah menu siang hari si adek kecilku itu
“ Enak tuh keanya... “ seruku sambil iseng mengambil piring berisi Ikannya
“ Ihhh kakak.... itu kan ikan Enjel, kok diambil,,,, “ katanya dengan raut ajah merengut
“ Habis kamu lucu banget sihh.... “ jawabku dengan tangan mengembalikan ikan pada tempatnya dan mencubit piipi Enjel dengan gemas
“ Aduhhh kakak..... sakit tauk.... “
“ Ya udah kita makan yok, udah laper kakak “ kataku sambil memegang sendok yang telah penuh dengan nasi, kuarahkan tanganku kedalam mulut dan akhirnya sesendok karbohidrat masuk ke perutku. Sekilas kulihat Enjel yang dengan lahapnya menyantap makanannya, matanya berkaca-kaca sejenak namun dia segera menghapus dan tersenyum padaku
“ Kamu nangis Njel? “
“ Gak kok “ jawabnya sembari tersenyum padaku
“ Kalo gak nangis apaan dong yang jatuh dan netes di pipi kamu? “ tanyaku meledek dan tersenyum
“ Ini hujan mungkin! “ celotehnya lucu sambil melihat kearah langit-langit dan mencari alasan. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.
Acara makan siang kami pun usai dengan ceria. Aku yang hanya dapat terbaring lemah dikasur akhirnya bisa tertawa riang karena adanya Enjel disampingku dan sekarang akupun mengerti kenapa Tuhan tak membiarkan seseorang menjengukku lagi yaitu karena Tuhan telah menitipkan aku pada seorang malaikat kecil yang mampu mengisi setiap kekosonganku dengan canda dan tawa.
“ Besok kita jalan-jalan yok kak! “ ajaknya padaku
“ Jalan-jalan? Kamu ngejek kakak ajah deh. Mana mungkin kakak bisa jalan-jalan dengan keadaan kakak yang kayak mumi gini, kamu tau sendiri kan kalo kakak itu gak bisa begerak kemana-mana karena tulang punggung kakak yang remuk ini, entar kalo kakak duduk tegak or jalan kan Tulang punggung kakak bisa ngeluarin darah lagi, kamu emang mau liat kakak kesakitan lagi? “ ujarku membelai wajahnya, sebenarnya aku ingin sekali sejenak dapat keluar dari kamar ini namun aku sadar diri dengan keadaanku yang tak dapat berbuat apapun.
“ Yang nyuruh kakak jalan kaki siapa? Gadak kan? Makanya jangan sok tau deh! “ ujarnya tersenyum nakal.
“ Emang mau make apa? “
“ Want to know ajjaahh.... “ serunya sambil berlari keluar. Dari dalam kamar aku hanya dapat tersenyum melihat tingkahnya yang lugu dan polos.
Pagi hari pun menjelang ketika aku membuka mata, seperti biasa aku melihat seorang suster yang telah siap siaga membantu untuk membasuh setiap tubuhku agar segar nantinya
“ Keanya bakal ada surprie nih buat kamu “ ujar sang suster sambil tetap membasuh badanku
“ Surprise apaan sus? “ tanyaku penasaran
“ Ntar kamu juga tau sendiri “ jawabnya sambil tertawa dan melanjutkan pekerjaannya
Mentari siang telah sampai ditahtanya ketika Enjel datang dengan beberapa dokter jaga lelaki yang cukup tampan
“ Adek, tuh sapa? “tanyaku pada Enjel
“ Ini abang-abang yang bantui Enjel, mereka mau bantu Enjel “
“ Bantu ngapae? “
“ Ihh kakak bodohnya kumat ahh,,, kemaren Enjel bilang kan kalo kita mau jalan-jalan. Nah abang-abang ni bakal bantui Enjel buat bawa kakak jalan-jalan “ serunya dengan senyum sumringah
“ Kamu memang ada-ada ajah deh “
“ Kita makan diluar ajah yah kak “ serunya sembari menyuruh para dokter tampan itu menyeret tempat tidurku, aku hanya bisa tersenyum ketika melihat ide kerasnya yang ingin membawaku keluar dari kamar ini.
“ Sini naik “ sahutku mengajaknya naik ke atas kasurku, dia memanjat menggunakan kursi dan duduk disampingku persis seperti pertama kali aku melihatnya ketika aku merasa tak ada lagi yang memperdulikan. Dalam hati aku sering bertanya kepada Tuhan “ Apakah Enjel adalah malaikat yang Tuhan berikan untuk membuatku selalu tersenyum? “, pertanyaan itu terus-terus berkembang dalam benakku dan tak tersadar olehku bahwa ternyata kami telah sampai di tempat yang telah dipersiapkan Enjel
“ Ini dimana dek? “
“ Mau tau aja deh. Oy tempat tidurnya mau dinaikin dikit ga kak? Supaya nampak pemandangannya gitu “ sahutnya padaku
“ Iya dek “ seruku masih tak sadar bahwa aku telah keluar dari kamar rumah sakit. Aku melihat pemandangan yang sangat indah, burung-burung bernyanyi merdu menyambut kehadiran kami
“ Keren kan kak tempatnya? “ tanyanya tiba-tiba, membuatku agak sedikit terkejut
“ Iyah keren “
“ Gitu ajah? Gak nanyak emang ini dimana? “
“ Gak ahh, ntar kamu bilang mau tau aja deh “
“ hahahha.... kakak ni ngambek yah? Yahh... gitu ajah ngambek, Enjel tadi becanda doank tau! “ sahutnya
“ trus ni dimana dong?? “ tanyaku sembari memasang tampang merengut
“ Ni tempat dimana papah Enjel sering bawa Enjel kalo lagi sakit,,, kata papah tempat ini enak banget apalagi kalo yang kemari tuh lagi sakit pasti pengennya langsung sembuh “ jawabnya tersenyum
“ Kamu kenapa sih baik banget ke kakak? Kita kan baru kenal?? “ tanyaku serius, dengan langkah pasti ia merapat ke tempat tidurku
“ Karena aku rasa kakak itu special “ bisiknya padaku, aku merasa terkejut dengan pernyataannya yang mengatakan aku special padahal dalam hati aku sering berkata bahwa aku bukan apa-apa
“ Kenapa kamu bilang kakak special? Alasannya apa? “ tanyaku lebih lanjut
“ Kakak mau tau?? Tanya aja ama Tuhan “ jawabnya singkat, kebingunganku semakin mendalam mendengar jawabannya namun semenjak saat itu aku mencoba mengambil sikap bijak untuk percaya dengan jalan Tuhan yang selalu menginginkan kebahagiaan di hidupku.
* * *
            Sebulan telah berlalu saat aku mulai menjalin pertemanan dengan gadis mungil bernama Enjel namun di minggu-minggu yang berlalu begitu cepat, aku melihat perubahan drastis dari Enjel. Hari-hari yang selalu dipenuhinya dengan tawa entah mengapa menghilang begitu saja, ia juga sudah jarang menjengukku dan dengan keraguan aku pun mencoba mencari tau dari semua orang yang mungkin mengenalnya
            “ Sus, suster kenal adik kecil yang sering sama ku gak? Namanya Enjel “ tanyaku pada suster yang kebetulan sedang memeriksa infusku
            “ Oh, Enjel pasien Gagal Jantung itu yah?, siapa sih yang gak kenal dia “
            “ Gagal Jantung? Maksud suster apa? Jangan becanda ahh sus... “ tanyaku memastikan perkataan dari suster itu
            “ Iya loh dek, Enjel itu pasien Gagal Jantung dan sekarang itu minggu-minggu kesakitan dia “
            “ Kesakitan? Maksud suster apa? “
            “ Enjel itu udah 3 tahun dirawat di Rumah Sakit ini, ayah-ibunya adalah pemegang saham terbesar di Rumah Sakit ini dan karena kondisinya yang kadang drop akhirnya otangtuanya menitipkan dia di Rumah Sakit ini. Pokoknya kasihan banget deh dia “ cerita sang suster
            “ 3 tahun? Emang gak ada pendonor jantung sus? “
            “ Hari gini mah mana ada orang bodoh yang mau donorin jantung dan biarin dirinya mati demi orang lain “ sahutnya sambil tertawa. Aku berpikir keras dalam benakku, “ ingin sekali aku membantu Enjel tapi gak mungkin juga karena Dia aku game over disini “ batinku terdiam.
BERSAMBUNG
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar