Hari
yang cerah di awal bulan Juli, ketika aku dan sahabatku mulai berjalan
mengitari koridor ruang guru, menyusuri tiap inchi seluk beluk ruangan sambil
melihat-lihat berbagai kata mutiara yang terpajang rapih di dinding.
Berkali-kali aku tersenyum melihat kata-kata indah itu, sampai tak tersadar
bagiku bahwa aku telah cukup lama berada diruangan, dengan penuh senyum
kulangkahkan kaki berusaha beranjak dari ruangan dan meninggalkan kata-kata
mutiara yang telah berulang kali kubaca.
* * *
Sesampainya
ku di teras ruangan langkah kakiku
terhenti disebuah kursi panjang, ku jatuhkan diri ke kursi yang terbuat dari
alumunium itu sambil menatapi sebuah ruangan tempat generator sekolah berada,
mataku menerawang dengan tajam kearah ruangan tersebut. “ Entah apa yang bakal
terjadi jika generator itu meledak “ batinku dalam hati. Lamunanku menerawang
kesetiap arah dan jatuh tepat di ruangan generator itu dan seperti dalam sebuah
film berjudul “final destination” aku seolah mendapat penglihatan bahwa ruangan
itu akan meledak dan menyebabkan kebakaran hebat di sekolah ini. Cepat-cepat
aku tersadar dalam lamunanku dan mencoba menghilangkannya dengan cara berlalu dari
tempat itu, namun ketika melewati tempat itu rasa panas seolah menjalar di
sekujur tubuhku dan membuatku sedikit merasa kegerahan, langkah kaki mulai
kupercepat secepat degup jantungku yang tidak karuan ketika mengingat kejadian
dalam lamunanku itu, “ sungguh mengerikan jika semua itu sampai terjadi “
batinku dalam hati sambil meneruskan langkah kakiku menuju tangga dimana
kelasku berada.
* * *
Dari
kejauhan masih ku tatap ruangan itu. Kuselidiki dengan kedua bola mataku
sesuatu yang aneh dari ruangan itu. “ apa yang terjadi?, kenapa aku merasa ada
keganjilan di ruangan itu? dan mengapa saat aku melewati ruangan itu rasanya
panas sekali? “ batinku dengan seribu pertanyaan, namun keganjilan yang aku
tanyakan dalam hati mulai terjawab ketika aku melihat sepercik api keluar dari
kipas sebuah Air Conditioner ( AC ) yang berada tepat diluar ruang administrasi
sekolah. Aku bertanya-tanya dalam hati “ percikan itu sepertinya tidak asing
kulihat? Aku merasa pernah melihatnya “ batinku dengan perasaan mulai gelisah,
“
Dina gua bisa mintol ga?, loe tolong bilangi ma Pak Sapri supaya mutusin aliran
listrik dari sumbernya yah! “ ujarku kepada Dina sambil arah pandanganku tetap
tertuju pada ruangan generator.
“
Loe emangnya mau kemana? Nd lagi ngapai Pak Sapri musti matiin aliran listrik
sekolah? “ tanya Dina menatapku penuh tanya, matanya yang polos membuatku agak
sedikit terenyuh.
“
Loe liat disana, ruangan itu sebentar lagi bakal meledak dan kalo listrik gak
dimatiin sekolah ini juga bakal meledak “ jawabku menunjuk kearah ruangan
generator sambil mulai mengambil langkah menuju ke lantai dasar untuk
memberitahu para guru.
“
Trus loe mau kemana? “
“
Gua harus beritahu semua guru “ teriakku sambi berlari meninggalkan Dina
* * *
Sesampainya di lantai dasar aku
berlari menuju ruangan guru namun ketika melewati ruangan generator itu aku
mulai mendapat penglihatan kembali yaitu akan ada salah satu guru kesayanganku
yang akan terkena ledakan. Cepat-cepat aku berlalu dari tempat itu menuju
ruangan guru.
“ Maaf Bu, Pak, saya Cuma mo ngabari
kalo Bapak ma Ibu semua mesti keluar dari ruangan ini karena.... hah... hah.. “
teriakku dengan suara tersengal-sengal
“ Karena apa Lin? “ tanya salah
seorang guru yang akrab dipanggil Ibu sondang, ia berjalan kearahku dan mencoba
menenangkanku,
“ Maaf Bu, bukannya saya mengada-ada
tapi saya rasa ibu dan Bapak mesti keluar dari ruangan ini secepatnya karena
ruangan ini bakalan meledak sebentar lagi “ kataku sambil mencoba mengatur
nafas,
“ Kamu tau dari mana? “ tanya
seorang guru yang duduk dikursi paling belakang,
“ Saya tadi mimpi kalo ruangan
generator itu bakal meledak dan efek ledakannya adalah ruangan ini “ seruku
dengan tangan menunjuk ruangan generator. Guru-guru yang berada diruangan
seakan tidak percaya pada perkataanku, mereka mengira aku mengada-ada dan hanya
bermimpi namun, “ DHUUAARRRR....... “ suara ledakan berbunyi persis seperti
dalam mimpiku. Sontak karena kaget semua guru berhamburan berlari dari ruangan
menuju keluar melihat apa yang terjadi, mereka berbondong-bondong meninggalkan
ruangan karena takut jika omonganku bakal benar-benar terjadi namun, salah
seorang guru kesayanganku yang akrab ku panggil Ibu Annisa masih berada dalam
ruangan sambil menyusun barang-barangnya, dia seolah tak percaya omonganku akan
menjadi kenyataan.
“ Ibuk, ayok keluar “ teriakku dari
depan pintu ruangan guru namun, ia seakan enggan untuk keluar entah karena dia
tak percaya atau karena apa. Dia terus berada dalam ruangan sambil menatapku
penuh dengan curiga sementara aku terus-menerus merasa gelisah yang amat
mendalam ketika sebuah penglihatan menghampiriku kembali dan dalam penglihatan
itu aku melihat tulang belakang guru kesayanganku itu hancur terbakar karena
api dan “ DHUUUAAARRRR........... “ ledakan kedua pun terjadi sehingga
membuyarkan lamunanku yang amat mengerikan. Mendengar ledakan kedua dari
generator sontak Ibu Annisa berlari kecil dari tempatnya menuju arah pintu
tempat dimana aku berdiri, dia menghampiriku namun “ DHUUAARRRRRRR........... “
semua terlambat ketika ledakan ketiga terjadi tepat pada Air Conditioner (AC)
yang berada diatas kepalaku. Ledakan itu cukup besar sehingga cukup membuatku
terjatuh dan menimpa Ibu Annisa, aku jatuh terjerembab diatasnya dan disaat
yang sama tulang punggungku terasa sangat panas dan perih seperti terbakar,
suara teriakan yang memanggil namaku pun mulai terdengar walau perlahan aku
mulai tak mendengar suara mereka lagi.
* * *
Entah sudah berapa lama aku pingsan
dan tak tersadar karena kejadian itu, tubuhku terasa sangat gontai, punggungku terasa
panas dan perih membuatku amat sangat menderita. Dalam keadaan terlungkup
perlahan ku coba membuka kelopak mata berusaha melihat sekelilingku namun,
seorang yang tak terasa asing bagiku menyapa dengan senyuman
“ Kamu udah enakkan? “ tanya guru
itu
“
Udah bu, tapi punggung saya rasanya panas dan perih sekali. Kenapa yah? “
tanyaku penasaran. Raut wajah guru itu berubah menjadi sedih dan merasa
khawatir sekali, dia membelai rambutku perlahan
“ Dek, kamu istirahat dulu yah,
bentar lagi ambulans datang “ sahut guru itu padaku namun, aku masih sedikit
gelisah karena keadaan punggungku yang amat terasa perih dan panas. Seolah tak
terbendung akhirnya air mataku meleleh membasahi kedua belah pipi, rasa sakit
yang amat mendalam membuatku tak mampu menahannya. Ku genggam erat pinggiran
seprai tempat aku tertelungkup pasrah sambil berusaha menahan rasa pedih dan
panas yang semakin menyiksa,
“ Sakit yah? “ tanya guru itu sambil
menggenggam tanganku yang tadinya menggenggam seprai, dia menghapus air mata
yang jatuh karena menahan rasa sakit yang begitu menyiksa dan disela-sela rasa
sakit yang kuderita samar-samar aku mendengar suara ledakan yang sama, suara
itu membuatku sontak bangkit dan mencari asal suara itu
“ Kamu kenapa? Kamu disini udah
aman, kamu enggak usah keluar dari UKS ini karena kamu sendiri aja lagi gawat “
sahut guruku mencoba mencegahku untuk pergi meninggalkan ruangan itu.
“ Suara ledakan itu belum usai yah
buk? Terus temen-temen dan guru-guru yang lain pada kemana? “ tanyaku mulai
gelisah
“ Mereka semua diluar mencoba
meredakan ledakan itu “
“ Tapi dengan apa? Mereka aja enggak
ada yang tau kapan ledakan itu terjadi lagi jadi apa cara mereka menghentikan
ledakan itu? “ tanyaku sambil melompat dari tempat tidur dan beranjak keluar
dari ruangan,
“ Kamu enggak boleh pergi “ sahut
guru itu sambil menarik tangan ku
“ Tapi aku harus nyelamatin mereka
bu “ ujarku sembari melepaskan genggaman tangan dan berlari keluar.
* * *
Diluar ruangan aku melihat
pemandangan yang sangat menyeramkan. Gereja yang selama ini kulihat begitu
megah kini menjadi hancur karena ledakan, ruang guru yang begitu nyaman
sekarang menjadi hancur seperti puing-puing, air mata meleleh dan membasahi
pipiku. Penuh gontai aku berjalan menghampiri kerumunan guru dan teman-temanku,
mereka terkejut melihatku keluar dari ruangan
“ Kenapa kamu keluar? “ tanya para
guru menatapku dengan mata menyeringai,
“ Saya hanya ingin membantu “
jawabku sambil menutup mata dan berusaha mencari penglihatan dan dalam
keheningan aku mulai mendapat penglihatan kembali, kulihat satu persatu AC
meledak dan hanya satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah yaitu mematikan
semua aliran lisrik dari sumbernya.
“ Buk, saya tau cara mengatasi
ledakan ini “
“ Bagaimana? “
“ Dengan cara mematikan semua aliran
listrik dari sumbernya “ kataku dengan lemah. Mendengar pengakuan bahwa ledakan
itu bisa dihentikan semua guru bergegas memanggil Pak Sapri yang tau dimana
sumber arus listrik sekolah berada, tapi belum sempat Pak Sapri masuk keruangan
sumber listrik ledakan kembali terjadi dan menghancurkan ruangan SD. Mendengar
ledakan itu kulihat Pak Sapri segera bergegas keruangan listrik namun tak
berapa lama aku mendapat penglihatan bahwa ruangan tempat generator yang telah
meledak akan meledak kembali, cepat-cepat aku terbangun dari lamunanku dan
kulihat Ibu Annisa yang telah ku selamatkan dari ledakan tadi berada tepat
didepan ruangan generator. Dengan gerakan spontan dan tanpa memperdulikan sakit
yang kurasa aku berlari menuju Ibu Annisa, kutubruk badannya dengan kuat
menjauhi ruangan dan “ DHUUUAAARRRRRR............. “ bunyi ledakan yang begitu
keras membuatku terpental jauh. Dalam benakku aku tak tau apakah aku masih
hidup ataupun aku akan segera ke surga tapi yang pasti samar-samar aku masih
mendengar suara guru dan teman-temanku yang berteriak memanggil namaku.
* * *
Untuk yang kesekian kali aku
tersadar dari tidurku dan dalam keadaan terlungkup aku merasakan darah segar
mengalir dari pelipis kepalaku, aku merabanya dan berusaha membersihkannya
dengan telapak tanganku karena aku tak ingin mereka menjadi khawatir, tapi
semua terlambat Ibu Annisa melihat darah itu mengalir dari pelipisku dan dengan
sigap ia mengambil sapu tangan dan menghapus darah itu.
“ Perasaan kamu gimana sekarang? “
tanyanya sambil perlahan menghapus darah dari pelipisku. Aku hanya menjawabnya
dengan senyuman yang singkat dan penuh arti, dia melihatku dengan air mata
berlinang dan wajah penuh rasa bersalah. Perlahan aku melihat air mata
membasahi pipinya
“ Ibu kok nangis? Jangan nangis Ibu,
udah tua kok nangis. Saya enggak apa-apa kok, Cuma sakit sedikit di punggung
saya “ kataku seraya mengejek, dia tersenyum dan membelai rambutku
“ iyah kamu benar. Tapi sekarang Kamu
tahan yah, sebentar lagi ortu kamu dan ambulance segera datang “ serunya dengan
tangan tetap pada kepalaku, aku hanya bisa mengangguk perlahan dan kemudian
menutup mataku kembali. Dalam tidurku aku masih bisa mendengar hiruk-pikuk
suara yang ada di sekelilingku, namun perlahan seolah lenyap hilang ditelan
bumi suara itu tak terdengar lagi.
* * *
Setelah beberapa waktu aku tak
mendengar suara apapun akhirnya aku mulai mendengar satu suara yang menandakan
bahwa pasti aku sudah sadar walaupun yang kudengar seperti suara seorang suster
namun aku bersyukur masih bisa mendengarnya, kubuka mataku dan kulihat seorang
suster berdiri disampingku, ingin sekali aku bicara pada suster itu tapi seolah
tertahan sesuatu hal bibir ini tidak dapat berkutik. Aku terpaku diatas tempat
tidur seperti layaknya mayat hidup yang menunggu mati, tangan dan sekujur
tubuhku tak dapat kugerakkan, aku berharap ini adalah mimpi dan esok hari aku
akan terbangun dengan keadaan yang berbeda.
Saat mentari menyongsong diufuk
timur aku membuka mataku dan merasakan bahwa sekujur tubuhku masih membatu, aku
merasa tak berarti dan memutuskan untuk menutup kembali mataku. Entah berapa
lama aku telah tidur dan kembali kurasakan bahwa aku tak bisa berbuat apapun
sampai salah seorang masuk kedalam kamarku, seorang yang tak asing bagiku yaitu
Ibu Annisa, dia duduk disampingku dan melihat lalu terenyum
“ Gimana keadaannya hari ini? “
tanyanya dengan perlahan sambil menyibakkan seutas rambut yang menyangkut di
pipiku, ingin sekali aku menjawab salam darinya tapi sekali lagi aku tak bisa
melakukan hal itu karena tubuh ini seakan membatu.
“ Kamu lumpuh karena kejadian di
sekolah waktu itu “ katanya berusaha menerangkan apa yang terjadi padaku.
Seusainya ia menerangkan hal itu dia mengambil buku yang mungkin sengaja
disiapkannya dalam tasnya.
* * *
Sebulan telah berlalu dan aku tetap dalam
kondisi yang sama. Silih berganti teman, keluarga, guru dan semuanya datang
menjenguk tapi entah mengapa Ibu Annisa terus berada disampingku selama aku
berada dirumah sakit, dia tetap duduk di sebelahku, menjadi penjaga setia yang
selalu membaca buku dan sesekali membuat hariku menjadi agak sedikit bernuansa
dengan cara mengajakku bicara walau dia juga tau aku tak akan dapat
menjawabnya.
Awal September telah dimulai dan aku
masih tak dapat melakukan apapun kecuali diam pada tempatku, menahan sakit yang
amat sangat pada punggungku. Beberapa kali aku merasakan darah segar mengalir
dari belakang punggungku, membasahi baju dan seprei tempat tidurku.
“ Kamu udah lebih dari sebulan nggak
sadar loh Linda “ seru Ibu Annisa sambil memplototi aku, aku ingin sekali
tertawa ketika melihat matanya yang begitu serius dan pipinya yang tembem
sedang berhadapan langsung dihadapanku tapi aku tak bisa.
Seminggu kemudian gerombolan temanku
datang menjenguk dan tak lupa juga dengan Ibu Annisa yang entah mengapa setia
banget nemeni aku, mereka datang membuat keisuhan yang emang aku ingin rasakan,
mereka tertawa dengan cerita konyol yang dari mana saja asalnya.
“ Li, Loe gak tau ni si Trisna tadi
baru ngelakui hal apa di sekolah “ seru salah seorang teman yang emang udah aku
anggep kea adek sendiri
“ Trisna hari ni buat malu, masa
kebelet pipis masuk ke toilet guru dah tu bukan sampe disitu ajah, dia malah
gak ketok pintu maen masuk ajah.... ehh... didalam ada Pak Andre, yah loe tau
lah betapa malunya dirinya.... ahhahhahhahaha........... “ Ceritanya dengan
suara yang keras dan menggema di seluruh ruangan. Beberapa menit waktu berjalan
dan Trisna yang duduk didepan lemariku melihat tumpukan kartu UNO yang tersusun
rapi, tanpa dikomando dia langsung membagikan kartu itu ke semua termasuk Ibu
Annisa
“ Enggak ahh... saya gak ikutan “
seru Ibu Annisa menolak
“ Ayo dong Ibu... masa Ibu
menyendiri kea gitu “ bujuk Trisna
“ Iya Ibu, UNO nih permainan
kesukaan kak Li lohh, jadi Ibu ikutan main aja “ timpal Brenda
“ Saya enggak ngerti “ jawab Ibu
Annisa sembari menutup bukunya
“ Nanti kita ajari Ibu “
“ Iya Ibu, gampang aja kok “ saut Brenda
menyetujui
“ Ok deh, saya ikut. “ seru Ibu
Annisa dengan pandangan ke arah tempatku berada. Berkali-kali putaran permainan
dimulai tapi Ibu Annisa tetap saja kalah dalam permainan itu.
“ Haduh Ibu... kok kalah melulu sih?
“ tanya Trisna sambil menepuk keningnya
“ Dari Tadi kan saya udah bilang
kalo saya enggak ngerti dan nggak bisa main “ jawab Ibu Annisa mencari alasan
“ kalo Ibu kalah melulu kak Li pasti
emosi tuh “ sahut Brenda sambil melihat kearahku
“ Emang kenapa? “
“ Yah secara kan kak Li itu Miss UNO
dikalangan kita, dia paling susah dikalahin. Jadi kalo Ibu terus kalah kea gini
yah kak Li pasti sedih banget karena statusnya sebagai Miss UNO bakal gugur
karena Ibu “ jawab Trisna sekenanya
“ Karena saya? Emang salah saya apa?
“
“ Kalo Ibu kalah berarti membuat
jatuh harga diri lohh Ibu kami cyayang.... “ jawab Dina
“ Harga diri siapa? Emang seberapa
suka dia sama permainan ini? “
“ Harga diri Miss UNO dong Ibu,
hmm.... Ibu gak tau ka Li malah Suka banget Ibu, dia selalu menang kalo maen
UNO ini “ jawab Dina agak sedikit lebay. Kulihat sorot mata Dina yang agak
sedikit mengedip padaku,
“ Yaudah kali ini saya akan coba
main lagi. Tapi kalo kalah lagi saya nggak tau yah “
“ iya deh Ibu “ jawab mereka
serempak. Aku tersenyum melihat mereka berada disampingku dan disaat itu terasa
sekali bagiku kehangatan dan kasih yang dulu pernah kurasakan ketika berada
bersama mereka.
Dua putaran permainan telah usai, Ibu
Annisa yang sedari tadi kalah dan membuat harkatku sebagai Miss UNO hancur kini
menjadi pemenangnya,
“ Eh kak Li, ni Ibu Annisa dah
menang loh... kakak sekarang nggak usah khawatir lagi gelar Miss UNO direbut ma
kak Jeyek ini “ sahut Trisna menunjuk friska kakak kelas kami yang selalu
menantangku bermain UNO,
“
Kak... kakak gak senang yah Ibu Annisa menang? Kalo kakak senang bangun dong
jangan buat kami nunggu gini lama trus bilang ama kita kalo kakak senang udah
ngalahin kak Friska, jangan hanya diam kak “ sahut Vany dengan mata
berkaca-kaca sembari menggoncang tubuhku, dari sorot matanya tampak bahwa dia
sangat sedih. Ingin sekali ku bangun menghampirinya dan memeluknya namun tubuh
ini serasa menahanku,
“
Kak, kakak kan janji sama Trisna mau ngajari pelajaran Bahasa Inggris, kalau
keadaan kakak gini gimana mau ngajari aku. Kakak sadar dong, kakak apa nggak
kasihan liat mama kakak, liat keluarga kakak dan liat Ibu Annisa yang nunggui
kakak selama beberapa bulan ini? “ bentak Trisna dihadapanku sambil menunjuk Ibu
Annisa dengan air mata memenuhi wajahnya, dia memukul tanganku, menggoncang
tubuhku. Melihat hal itu Ibu Annisa berusaha menahan dengan cara memeluk
Trisna, dalam pelukan Ibu Annisa masih kudengar isak tangis Trisna yang begitu
kecewa
“
Kak, kakak bilang kakak sayang ama kita. Kalo kakak sayang ama kita kakak itu
harus bangun jangan diam aja kea gini, kakak mau ngajak kita makan kan ka? Ayo
bangun.... “ seru Trisna lagi, di lepaskannya pelukan Ibu Annisa dan kembali
menggoncang tubuhku, air matanya berlinangan, dipukulnya dinding kamar dengan
tangannya, dihentakkannya kepalanya kedinding, semua dilakukannya untuk
melepaskan kekecewaannya padaku.
Perlahan
dia menghampiriku, menggenggam tanganku dan berbisik ditelingaku
“
Kakak............. kenapa kakak kea gini? Kakak selalu bilang kalo kakak gak
akan ninggalin kami kea kak papua waktu itu. Kak aku udah cukup sakit waktu kak
papua pergi dan aku gak mau kakak pergi “ sahutnya dengan air mata yang
berlinang, ia terus memegangi tanganku dan perlahan kurasakan air matanya jatuh
tepat di tanganku. Aku benar-benar tak kuasa ketika melihatnya menangis, ingin
sekali kubangkit dan memeluknya, menghapus air matanya dan berkata “ Aku nggak
akan meninggalkan kalian “ namun aku tak sanggup, aku hanya bisa terdiam dan
menangis dalam hati
“
Kakak gak mikir yah gimana sayangnya kami ke kakak? Kalo kakak sayang ama kami
kakak harus bangun kak. Kalo kakak gak bangun aku bakal benci kakak seumur
hidup aku. “ ancam Trisna dengan wajah penuh air mata. Aku berusaha sekuat
tenaga untuk bengkit, aku ingin memeluknya dan menggenggam tangannya.
Sekuat
tenaga aku mulai menggerakkan tanganku, ingin sekali ku menggengam tangannya
dan dengan tekat yang kuat perlahan kugerakkan jariku sambil berdoa “ Tuhan
beri aku kesempatan berada di dunia ini sekali lagi, Tuhan masih ada tugas yang
harus aku selesaikan yaitu aku masih belum bisa membahagiakan keluargaku jadi
aku mohon kasih aku waktu 3 bulan untuk menyelesaikan tugasku. Biarkan aku
berguna bagi mereka walau hanya dalam waktu 3 bulan “ doaku dalam hati, kubuka
mataku dan ku dapati hal luar biasa pun terjadi akhirnya aku bisa menggerakkan
jariku. Tak puas dengan itu aku mulai bertekat untuk bicara, perlahan
kugerakkan bibirku yang kaku seperti batu, aku berusaha sekuat tenaga sambil
tetap berkata kepada Tuhan bahwa aku masih ingin hidup dan ternyata Tuhan
mengabulkannya
“
Tttt......tr....trris...na... “ kataku tebata-bata sambil tersenyum
“
Kakak..... kakak udah bisa ngomong? “
“
I....iya adek kkk....kkuu... “ sahutku masih terbata-bata, ku elus wajah Trisna
dengan lembut dan perlahan senyumku pun mengembang setelah melihat semua
adik-adikku berada disampingku. Melihatku yang telah dapat bicara walaupun
terbata-bata akhirnya mereka bergegas memelukku dengan hangat dan penuh kasih,
raut-raut keceriaan terpancar dari wajah mereka. Seperti seorang anak yang
telah lama hilang dan kini kembali aku merasa sangat senang walau ku tahu
kepulangan ku kedunia hanya berbatas waktu 3bulan.
* * *
3hari telah berlalu semenjak
kesadaranku pulih namun entah mengapa semua terasa berbeda, dulu sebelum aku
sadar ruangan ini dipenuhi dengan sanak-saudara ataupun teman-teman yang datang
menjenguk tapi 3hari setelah aku sadar tidak ada seorangpun yang datang
menjenguk termasuk Ibu Annisa.
“ Sus.. kok nga ada lagi yah
temen-temen nd kluarga Lina yg datang njenguk lina lagi? “ tanyaku kepada
seorang suster yang datang untuk mengecek tensiku sambil menyeruput minuman
“ Mereka sibuk kali... “
“ Hmm... tapi.... “
“ Yaudah lah engga usah difikiri
entar kalo mereka engga sibuk kan mereka juga datang. Makanya kamu juga mesti
cepet sembuh, udah yah suster mau balik ke ruangan suster dulu “ katanya sambil
menepuk bahuku perlahan dan tersenyum lalu pergi membawa peralatan
keperawatannya berlalu dari ruanganku. Aku terdiam dan kembali menutup mataku
berharap saat aku membuka mata ada seseorang yang menemani sepiku.
Pagi telah berlalu dan mentari siang
pun perlahan mulai naik ke tahtanya, memancarkan cahya terangnya kedunia. Kulihat
seorang gadis kecil tengah duduk disampingku dengan senyum sumringah, wajah
ovalnya yang mungil, rambut yang hitam panjang tergerai dan mata mungilnya
membuatku tak tega jika tidak membalas senyumnya. Seperti malaikat kecil yang
menghampiriku dia menggenggam tanganku dengan perlahan, aku bingung bukan main
ketika melihatnya sudah duduk manis disampingku padahal sesungguhnya aku sama
sekali belum mengenal dia.
“ Kamu siapa? “ tanyaku perlahan
kepada anak kecil itu
“ Aku Angel, kakak namanya siapa? “
tanyanya dengan suara khas anak kecil
“ Nama kakak Linda, kamu kok bisa
ada disini? “
“ Endak tau...! “ serunya polos
sambil melihat kearah langit-langit kamar
“ Kok engga tau? “ tanyaku penasaran
“ Iya endak tau.. abis tadi sewaktu
enjel jalan-jalan, enjel ngeliat tatak lagi bobok ngan alat-alat itu jadi enjel
samperi dehh... “ sahutnya dengan polos. Aku hanya bisa tersenyum melihat
tingkah gadis kecil yang lucu itu, terkadang dia melihatku dan mulai tersenyum.
Aku tak tau apa yang telah difikirkannya ketika melihat wajahku sehingga dia
dapat tersenyum begitu senangnya.
“ Ada yang aneh ama kakak yah? Kok
kamu senyum-senyum gitu sih.. “ tanyaku sambl memegang pipiku
“ Enggak kok.. “ katanya seraya
berdiri
“ Jadi kamu kok ketawa gitu? Oya
kamu mau kmana? “
“ Enggak apa-apa loh kak... dah
kakak... nanti kita ketemu lagi yah, Enjel mau ke kamar dulu “ katanya seraya
berlari dan berlalu dari kamarku
“ Dasar anak aneh “ bisikku perlahan
sambil menggelengkan kepala dan menjulurkan tanganku untuk mengambil sebuah
buku komik yang berada tepat disamping tempat tidur.
Matahari
terik telah berdiri dengan megahnya ketika salah seorang perawat memasuki kamar
ku dengan membawa baki berisi nasi dan lauk pauk, kuarahkan pandangan ke sebuah
jam dinding yang bertengger manis di atas kamar mandi
“
ternyata udah jam 1, tapi kok dari aku siuman ngga ada seorangpun yang jenguk
aku yah? “ kataku berceloteh sendiri
“
Mungkin sebentar lagi mereka datang dek yang penting sekarang tuh kesehatan
kamu “ sahut suster yang tadinya mengantar lunch
padaku. Dia tersenyum ramah dan berlalu begitu saja dari hadapanku. Sesaat
setelah suster itu pergi dari ruangan akupun mulai melanjutkan rutinitas
membaca komik ku, sampai tak tersadar bagiku kalau aku sudah melewatkan 1 jam
dengan perut kosong. Cacing-cacing dalam perutku mungkin sudah tak sabar untuk
diberi makan sehingga mengeluarkan bunyi-bunyi perut yang lucu, ku letakkan
komik disisi tempat tidur dan mulai meraih gagang penggeret yang sengaja
diletakkan di tempat tidur untuk tempat makanan, kucoba mengayunkan tangan dan
berusaha meraih namun aku tak dapat meraihnya karena tulang punggung ku yang
masih rapuh ini masih tak dapat digerakkan sesuka hatiku
“
Apakah ini alasan kenapa tak ada seorangpun yang menjengukku? Apakah karena aku
tak dapat berbuat apapun maka mereka takut jika aku merepotkan mereka? “ seruku
dengan bibir tergigit, sampai tak tersadar bahwa air mata mulai jatuh dan
mendarat di pipi. Aku menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan semua isi hatiku
walau ku tau tak ada yang mendengarkan ku, tak ada yang memperdulikanku dan tak
ada yang benar-benar mengasihiku namun entah mengapa ketika ku membuka mata
gadis kecil yang tadi pagi menemaniku kini telah duduk manis disampingku dengan
senyum yang terpancar
“
Kakak cengeng “ serunya sambil berdiri dan mencoba tuk menghusap air mataku
“
Kok kamu bilang kakak cengeng sih? “
“
Terus Enjel mesti bilang kata apa buat orang gede yang nangis hanya karena
engga ada yang jenguk dia? “ jawabnya sambil melompat turun dari kursi yang dia
naiki. Sesaat aku terdiam mendengar kata-katanya “ Dari mana dia tau kalau aku
menangis karena gak ada yang nemeni aku “ batinku dalam hati.
“
Maksudnya? “ kataku dengan alis mengernyit
“
Oalah kakakku... kenapa sih kakak nangis hanya karena gak ada yang nemeni?
Kakak takut yah? Udah gede juga masa takut di tinggal sendiri “ serunya sambil
melihat-lihat sekeliling kamar
“
Kakak nangis bukan karena takut adek tapi karena kakak kesepian gak ada yang
nemeni, kakak gak ada temennya “ jawabku mencoba memberi alasan
“
Ohh... kakak nangis karena gak ada temen? Kalau gitu sih gampang kak. Mulai sekarang
Enjel bakal jadi temen kakak. Kakak mau kan kalo Enjel jadi temennya kakak?
“ serunya dengan jari kelingking
menjulur kearah wajahku
“
Maksud adek apaan si? Kakak gak ngerti deh “
“
Kakak bodoh ahh.... yah maksud Enjel mulai sekarang kita temenan. Kakak mau
kan? “ tanyanya sambil mengambil jari kelingkingku dan mengkaitkannya ke jarinya.
Dia tersenyum begitu manis.
“
Terus sekarang kita udah temenan? “
“
Iyah donk, makanya tuh berhubung Enjel udah jadi temennya kakak berarti kakak
gak ada alasan lagi buat nangis. Okay....! “ serunya sambil memelukku
tiba-tiba, aku tak tahu entah dari mana dan apa alasan anak ini sehingga dapat
selalu ada ketika aku merasa kesepian namun yang ku tahu saat ini aku percaya
bahwa dia adalah teman yang sejati karena pelukan yang diberinya membuatku
selalu merasa hangat dan nyaman. Pelukan Sahabat.
Sejam
telah berlalu tanpa terasa, dengan celotehnya yang lucu dan selalu membuatku
tertawa membuat ku tak sadar bahwa aku belum menyentuh makan siangku.
“
Kakak, lapar gak? “
“
Emang kenapa dek? “
“
Habis Enjel liat ada makanan di atas itu... itu makanan kakak yah? Hayoo...
kakak belum makan cacing diperut kakak marah loh ntar! “ sahutnya sambil
menunjuk kearah makan siangku
“
Kakak tadi emang mau makan sayang tapi waktu kakak mau mencoba ngambil makan
siang kakak itu tulang punggung kakak sakit, jadi dari pada gimana-gimana bagu
gak usah diambil “
“
Ohh... kalau gitu sekarang kakak makan deh. Nih makan siangnya, walaupun telat
tapi asal ada “ serunya sambil mengulurkan makan siangku
“
Makasih sayang “ seruku dengan senyum yang merekah.
“
Oiya kak, kakak jangan makan dulu yah, biar kita makan bareng ajah... “ katanya
sambil berlalu dari ruangan. Dalam hati aku masih bertanya-tanya tentang asal
anak ini, namun pertanyaan itu segera buyar ketika kudapati dia telah datang
dan menghampiriku dengan baki berisi makanan yang sama denganku
“
Lohh, Enjel juga belum makan? Hayoo... kenapaa?? Mikiri cowok yahh?? “ rayuku
sambil melirikkan mata nakal kearahnya
“
Ihh.. apaan sih kakak, Enjel tuh belum makan kan karna nemeni kakak disini...
weeqq.... “ ejeknya sambil menjulurkan lidahnya yang mungil, aku tertawa lucu
melihatnya yang malu karna godaanku
“
Yauda... daripada kita berantem bagus kita makan ajah, sini naik ke tempat
tidur kakak biar kita bisa berdoa bareng “
“
Okeh dehh.. “ sahutnya sambil menaiki kursi dan duduk diatas tempat tidurku.
“
Nahh, karna Enjel yang paling kecil jadi Enjel yang mimpin doa makannya “
kataku sambil melirik kearahnya
“
Ahh mana aci gitu kak... yang iyahnya kakak dulu yang berdoa sebelum makan ntar
Enjel berdoa sesudah makannya “ ujarnya sambil memanyunkan bibir, melihat hal
itu akupun dengan sengaja menarik bibirnya sampai dia tersadar dan mencubit
lenganku. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya
“
Ya udah kalo gitu lipat tangannya..... Kita bersatu dalam doa. Tuhan yesus
terima kasih buat kasih karunia mu yang tlah kau berikan kepada kami hingga
saat ini, makanan telah tersedia dihadapan kami berkatilah makanan ini agar
menjadi kekuatan dan kehidupan baru bagi kami. Ampunilah kami akan kesalahan
kami dan berikanlah kami kekuatan untuk menjalani setiap detik kami berada
dirumah sakit ini. Terima kasih Tuhan amin. “ ujarku seraya membuka mata dan
mengakhiri,
“
Amin.... “ Sahutnya dengan suara yang nyaring, perlahan di bukanya plastik yang
membungkus baki makanannya. Semangkuk sup, Susu, dan Ikan itulah menu siang
hari si adek kecilku itu
“
Enak tuh keanya... “ seruku sambil iseng mengambil piring berisi Ikannya
“
Ihhh kakak.... itu kan ikan Enjel, kok diambil,,,, “ katanya dengan raut ajah
merengut
“
Habis kamu lucu banget sihh.... “ jawabku dengan tangan mengembalikan ikan pada
tempatnya dan mencubit piipi Enjel dengan gemas
“
Aduhhh kakak..... sakit tauk.... “
“
Ya udah kita makan yok, udah laper kakak “ kataku sambil memegang sendok yang
telah penuh dengan nasi, kuarahkan tanganku kedalam mulut dan akhirnya sesendok
karbohidrat masuk ke perutku. Sekilas kulihat Enjel yang dengan lahapnya
menyantap makanannya, matanya berkaca-kaca sejenak namun dia segera menghapus
dan tersenyum padaku
“
Kamu nangis Njel? “
“
Gak kok “ jawabnya sembari tersenyum padaku
“
Kalo gak nangis apaan dong yang jatuh dan netes di pipi kamu? “ tanyaku meledek
dan tersenyum
“
Ini hujan mungkin! “ celotehnya lucu sambil melihat kearah langit-langit dan
mencari alasan. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.
Acara
makan siang kami pun usai dengan ceria. Aku yang hanya dapat terbaring lemah
dikasur akhirnya bisa tertawa riang karena adanya Enjel disampingku dan
sekarang akupun mengerti kenapa Tuhan tak membiarkan seseorang menjengukku lagi
yaitu karena Tuhan telah menitipkan aku pada seorang malaikat kecil yang mampu
mengisi setiap kekosonganku dengan canda dan tawa.
“
Besok kita jalan-jalan yok kak! “ ajaknya padaku
“
Jalan-jalan? Kamu ngejek kakak ajah deh. Mana mungkin kakak bisa jalan-jalan
dengan keadaan kakak yang kayak mumi gini, kamu tau sendiri kan kalo kakak itu
gak bisa begerak kemana-mana karena tulang punggung kakak yang remuk ini, entar
kalo kakak duduk tegak or jalan kan Tulang punggung kakak bisa ngeluarin darah
lagi, kamu emang mau liat kakak kesakitan lagi? “ ujarku membelai wajahnya,
sebenarnya aku ingin sekali sejenak dapat keluar dari kamar ini namun aku sadar
diri dengan keadaanku yang tak dapat berbuat apapun.
“
Yang nyuruh kakak jalan kaki siapa? Gadak kan? Makanya jangan sok tau deh! “
ujarnya tersenyum nakal.
“
Emang mau make apa? “
“
Want to know ajjaahh.... “ serunya sambil berlari keluar. Dari dalam kamar aku
hanya dapat tersenyum melihat tingkahnya yang lugu dan polos.
Pagi
hari pun menjelang ketika aku membuka mata, seperti biasa aku melihat seorang
suster yang telah siap siaga membantu untuk membasuh setiap tubuhku agar segar
nantinya
“
Keanya bakal ada surprie nih buat kamu “ ujar sang suster sambil tetap membasuh
badanku
“
Surprise apaan sus? “ tanyaku penasaran
“
Ntar kamu juga tau sendiri “ jawabnya sambil tertawa dan melanjutkan
pekerjaannya
Mentari
siang telah sampai ditahtanya ketika Enjel datang dengan beberapa dokter jaga
lelaki yang cukup tampan
“
Adek, tuh sapa? “tanyaku pada Enjel
“
Ini abang-abang yang bantui Enjel, mereka mau bantu Enjel “
“
Bantu ngapae? “
“
Ihh kakak bodohnya kumat ahh,,, kemaren Enjel bilang kan kalo kita mau
jalan-jalan. Nah abang-abang ni bakal bantui Enjel buat bawa kakak jalan-jalan
“ serunya dengan senyum sumringah
“
Kamu memang ada-ada ajah deh “
“
Kita makan diluar ajah yah kak “ serunya sembari menyuruh para dokter tampan
itu menyeret tempat tidurku, aku hanya bisa tersenyum ketika melihat ide
kerasnya yang ingin membawaku keluar dari kamar ini.
“
Sini naik “ sahutku mengajaknya naik ke atas kasurku, dia memanjat menggunakan
kursi dan duduk disampingku persis seperti pertama kali aku melihatnya ketika
aku merasa tak ada lagi yang memperdulikan. Dalam hati aku sering bertanya
kepada Tuhan “ Apakah Enjel adalah malaikat yang Tuhan berikan untuk membuatku
selalu tersenyum? “, pertanyaan itu terus-terus berkembang dalam benakku dan
tak tersadar olehku bahwa ternyata kami telah sampai di tempat yang telah
dipersiapkan Enjel
“
Ini dimana dek? “
“
Mau tau aja deh. Oy tempat tidurnya mau dinaikin dikit ga kak? Supaya nampak
pemandangannya gitu “ sahutnya padaku
“
Iya dek “ seruku masih tak sadar bahwa aku telah keluar dari kamar rumah sakit.
Aku melihat pemandangan yang sangat indah, burung-burung bernyanyi merdu
menyambut kehadiran kami
“
Keren kan kak tempatnya? “ tanyanya tiba-tiba, membuatku agak sedikit terkejut
“
Iyah keren “
“
Gitu ajah? Gak nanyak emang ini dimana? “
“
Gak ahh, ntar kamu bilang mau tau aja deh “
“
hahahha.... kakak ni ngambek yah? Yahh... gitu ajah ngambek, Enjel tadi becanda
doank tau! “ sahutnya
“
trus ni dimana dong?? “ tanyaku sembari memasang tampang merengut
“
Ni tempat dimana papah Enjel sering bawa Enjel kalo lagi sakit,,, kata papah
tempat ini enak banget apalagi kalo yang kemari tuh lagi sakit pasti pengennya
langsung sembuh “ jawabnya tersenyum
“
Kamu kenapa sih baik banget ke kakak? Kita kan baru kenal?? “ tanyaku serius,
dengan langkah pasti ia merapat ke tempat tidurku
“
Karena aku rasa kakak itu special “ bisiknya padaku, aku merasa terkejut dengan
pernyataannya yang mengatakan aku special padahal dalam hati aku sering berkata
bahwa aku bukan apa-apa
“
Kenapa kamu bilang kakak special? Alasannya apa? “ tanyaku lebih lanjut
“
Kakak mau tau?? Tanya aja ama Tuhan “ jawabnya singkat, kebingunganku semakin
mendalam mendengar jawabannya namun semenjak saat itu aku mencoba mengambil
sikap bijak untuk percaya dengan jalan Tuhan yang selalu menginginkan
kebahagiaan di hidupku.
* * *
Sebulan telah berlalu saat aku mulai
menjalin pertemanan dengan gadis mungil bernama Enjel namun di minggu-minggu
yang berlalu begitu cepat, aku melihat perubahan drastis dari Enjel. Hari-hari
yang selalu dipenuhinya dengan tawa entah mengapa menghilang begitu saja, ia
juga sudah jarang menjengukku dan dengan keraguan aku pun mencoba mencari tau
dari semua orang yang mungkin mengenalnya
“ Sus, suster kenal adik kecil yang
sering sama ku gak? Namanya Enjel “ tanyaku pada suster yang kebetulan sedang
memeriksa infusku
“ Oh, Enjel pasien Gagal Jantung itu
yah?, siapa sih yang gak kenal dia “
“ Gagal Jantung? Maksud suster apa?
Jangan becanda ahh sus... “ tanyaku memastikan perkataan dari suster itu
“ Iya loh dek, Enjel itu pasien
Gagal Jantung dan sekarang itu minggu-minggu kesakitan dia “
“ Kesakitan? Maksud suster apa? “
“ Enjel itu udah 3 tahun dirawat di
Rumah Sakit ini, ayah-ibunya adalah pemegang saham terbesar di Rumah Sakit ini
dan karena kondisinya yang kadang drop akhirnya otangtuanya menitipkan dia di
Rumah Sakit ini. Pokoknya kasihan banget deh dia “ cerita sang suster
“ 3 tahun? Emang gak ada pendonor
jantung sus? “
“ Hari gini mah mana ada orang bodoh
yang mau donorin jantung dan biarin dirinya mati demi orang lain “ sahutnya
sambil tertawa. Aku berpikir keras dalam benakku, “ ingin sekali aku membantu
Enjel tapi gak mungkin juga karena Dia aku game over disini “ batinku terdiam.
BERSAMBUNG
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar